Home » Posts filed under Hasil penelusuran untuk Sejarah Gereja Indonesia
Hidup Friedrich Silaban terbilang cemerlang dan gemilang. Lahir di Bonandolok, Sumatera Utara, 16 Desember 1912, dia hanya
bersekolah di HIS Narumonda, Tapanuli, Sumatera Utara, dan Koningin
Wilhelmina School, sebuah sekolah teknik di Jakarta.
Namun, penganut Kristen Protestan dan anak seorang pendeta miskin itu
telah melahirkan berbagai bangunan modern pada masanya hingga kini
menjadi bangunan bersejarah.
Salah satunya ialah kemegahan sekaligus simbol kerukunan antarumat
beragama di Indonesia, Masjid Istiqlal, Jakarta, yang resmi digunakan
tepat 38 tahun lalu.
Pada tahun 1955, Presiden pertama Indonesia Ir Soekarno mengadakan
sayembara membuat desain maket Masjid Istiqlal. Sebanyak 22 dari 30
arsitek lolos persyaratan.
Bung Karno sebagai Ketua Dewan Juri mengumumkan nama Friedrich
Silaban dengan karya berjudul "Ketuhanan" sebagai pemegang sayembara
arsitek masjid itu.
Bung Karno menjuluki F Silaban sebagai "By the grace of God" karena memenangi sayembara itu.
Pada 1961, penanaman tiang pancang baru dilakukan. Pembangunan baru
selesai 17 tahun kemudian dan resmi digunakan sejak tanggal 22 Februari
1978. Jadi, hari ini merupakan peringatan ke-38 tahun Masjid Istiqlal.
Dikutip dari surat kabar Kompas edisi 21 Februari 1978, enam
tahun setelah Masjid Istiqlal selesai dibangun, F Silaban mengatakan,
"Arsitektur Istiqlal itu asli, tidak meniru dari mana-mana, tetapi juga
tidak tahu dari mana datangnya."
"Patokan saya dalam merancang hanyalah kaidah-kaidah arsitektur yang
sesuai dengan iklim Indonesia dan berdasarkan apa yang dikehendaki orang
Islam terhadap sebuah masjid," lanjut dia.
Kesederhanaan ide Silaban rupanya berbuah kemegahan. Jadilah masjid
yang berdampingan dengan Gereja Katedral itu tampak seperti masa saat
ini.
Masjid Istiqlal berdiri di atas lahan seluas 9,5 hektar, diapit dua
kanal Kali Ciliwung, kubahnya bergaris tengah 45 meter, dan ditopang 12
pilar raksasa serta 5.138 tiang pancang.
Dindingnya berlapis batu marmer putih. Air mancur besar melambangkan "tauhid" dibangun di barat daya.
Dilengkapi menara setinggi 6.666 sentimeter, sesuai dengan jumlah ayat Al Quran, masjid itu mampu menampung 20.000 umat.
Udara di dalam masjid begitu sejuk walau tanpa dilengkapi pendingin
ruangan. Sebab, Silaban membuat dinding sesedikit mungkin supaya angin
leluasa masuk. Silaban ingin umat yang sembahyang di masjid itu seintim
mungkin dengan Tuhan.
Haji Nadi, haji asli Betawi yang sembahyang di masjid itu, dalam surat kabar Kompas edisi yang sama mengatakan, "Berada di masjid ini saya merasa betapa besarnya umat Islam."
Dari Gambir ke penjuru dunia
Dikutip dari buku Rumah Silaban; Saya adalah Arsitek, tapi Bukan Arsitek Biasa, Silaban mulai tertarik dengan dunia arsitektur sejak sekolah di Jakarta.
Sayang, "Perderik", demikian dia dipanggil sang ayah, tak dapat
melanjutkan pendidikan ke tingkat universitas karena persoalan biaya.
Karier Silaban di dunia arsitek diawali saat bersekolah di Jakarta. Dia
sangat tertarik pada desain bangunan Pasar Gambir di Koningsplein,
Batavia, 1929, buatan arsitek Belanda, JH Antonisse.
Setelah lulus sekolah, Silaban mengunjungi kantor Antonisse. Dia pun
dipekerjakan sebagai pegawai di Departemen Umum, di bawah pemerintahan
kolonial.
Kariernya terus meningkat hingga akhirnya ia menjabat sebagai
Direktur Pekerjaan Umum tahun 1947 hingga 1965. Jabatannya itu membawa
Silaban ke penjuru dunia.
Tahun 1949 hingga 1950, Silaban ke Belanda mengikuti kuliah tahun
terakhir di Academie voor Bouwkunst atau akademi seni dan bangunan.
Pada saat inilah, Silaban mendalami arsitektur Negeri Kincir Angin itu dengan melihat dan "menyentuhnya" secara langsung.
Tidak hanya Belanda, setidaknya 30 kota besar di penjuru dunia telah
dikunjungi Silaban. Tujuannya satu, mempelajari arsitektur di
negara-negara tersebut.
Perjalanannya ke penjuru dunia, terutama setelah kunjungannya ke
India, menyiratkan satu hal bahwa jiwa sebuah bangsalah yang
mendefinisikan arsitektur bangsa tersebut.
Perjalanan Silaban itu memengaruhi keinginannya dalam "manifestasi
identitas asli Indonesia; negara yang bebas dan progresif" melalui
karya-karyanya di Tanah Air.
Tutup usia
Sang arsitek tutup usia pada hari Senin, 14 Mei 1984, di RSPAD Gatot Subrotot karena mengalami komplikasi.
Selain Istiqlal, peninggalan Silaban hadir di sekitar 700 bangunan
penjuru Tanah Air, di antaranya Stadion Gelora Bung Karno
(Jakarta/1962), Monumen Pembebasan Irian Barat (Jakarta/1963), Monumen
Nasional atau Tugu Monas (Jakarta/1960), Gerbang Taman Makam Pahlawan
Kalibata (Jakarta/1953), hingga Tugu Khatulistiwa (Pontianak/1938).
"Dia pergi setelah mengukir sejarah, suatu sejarah yang lebih tinggi
dari karya sebuah hasil seni atau teknologi, tetapi adalah sejarah
kemanusiaan, kebersamaan, toleransi. Namanya akan dikenang sepanjang
zaman," demikian paragraf penutup di situs bertajuk "Silaban
Brotherhood".
sumber : disini
[Continue reading...]
Ini adalah fakta yang sepertinya perlu anda
ketahui, bahwa dalam catatan sejarah, seorang Pastor Katolik telah
berkunjung ke Indonesia di era Majapahit,
jauh sebelum penjajahan Jepang, Belanda, Portugis atau bangsa Eropa
lainnya. Bahkan jauh sebelum Kerajaan Majapahit mencapai puncak
kejayaannya di bawah pemerintahan Hayam Wuruk dan Gajah Mada.
LATAR BELAKANG
Syahdan, setelah pemerintahan Raden Wijaya, tampuk pemerintahan jatuh
kepada anaknya sebagai raja kedua, yakni Prabu Jayanagara. Menurut
kitab Kakawin Nagarakretagama yang ditulis oleh Empu Prapanca, di usia
yang sangat muda ( sekitar 15 tahun) raja bernama kecil “Kala Gemet”
ini naik tahta dengan gelar Sri Maharaja Wiralandagopala Sri
Sundarapandya Dewa Adhiswara. Karena itu untuk menjalankan
pemerintahan, Jayanagara diwakili oleh Lembu Sora sebagai Patih Daha.
Masa pemerintahan Jayanagara adalah masa paling kelam dimana
pemberontakan terjadi secara terus menerus. Sejumlah teman seperjuangan
ayahnya yang tergabung dalam Dharma Putra, terpaksa melakukan
pemberontakan karena tidak puas dengan pemerintahan Jayanagara dengan
berbagai alasan. Mulai dari alasan ketidak pantasan Jayanagara menjadi
Raja Majapahit karena factor keturunan ( Jayanagara adalah anak Raden
Wijaya dengan Dara Petak ( Istri lain dari Sumatera, di luar 4 istri
anak prabu Kertanegara yang telah dikawini terlebih dahulu), alasan
kebijakan Jayanagara yang tidak peduli dengan rakyat, alasan kepribadian
Jayanagara yang gemar berpesta, mabuk-mabukkan, semena-mena mengambil
anak gadis atau istri orang, serta berbagai alasan lain yang tidak
mungkin diceritakan satu persatu di sini.
Pemberontakan ini
adalah juga pemberontakan susulan atas kebijakan Majapahit sejak jaman
Raden Wijaya. Para pemberontak itu diantaranya Ra Kuti, Ra Semi, Ra
Tanca, Ra Wedeng, Ra Yuyu, Ra Banyak, dan Ra Pangsa. Khusus
pemberontakan Ra Kuti, pemberontakan ini adalah pemberontakan yang
paling berhasil karena mampu menguasai istana dan membuat Jayanagara
mengungsi di sebuah dusun bernama Badender. Pengungsian Jayanagara
tersebut berada dalam kawalan pasukan khusus Bhayangkara dibawah
pimpinan Dipa ( kelak bernama Gajah Mada ).
Lewat inisiatifnya
sendiri, Dipa dan pasukan kecilnya kemudian mengembalikan pemerintahan
ke tangan Jayanagara dengan bantuan rakyat yang masih setia.
Pemberontakan Ra Kuti akhirnya berhasil di padamkan dan Jayanagara
kembali ke tahta.
MASA KEDATANGAN
Di tahun 1321, seorang Romo Katolik dari Biara Fransiskan datang ke Majapahit. Sejak tahun
1316, Romo yang dikenal dengan nama Odorico da Pordenone telah
berlayar mulai dari Venesia, kemudian melalui Konstantinopel, Jazirah
Turki dan Iran menuju Hormuz di Teluk Persia. Dari Hormuz perjalanan
dilanjutkan dengan berlayar, dan berturut-turut menyinggahi berbagai
pelabuhan di Mumbai, Malabar, Srilangka, Madras, Sumatera dan Jawa.
Kedatangan ke Jawa sesungguhnya hanya persinggahan sementara karena
tujuan utamanya adalah menjelajahi kawasan yang oleh kalangan Eropa
disebut Timur Jauh. Meski hanya persinggahan, namun saat di Jawa, romo
yang bernama asli Odorico Mattiuzzi ini telah banyak berkarya baik
secara religi maupun secara kesusasteraan . Salah satunya menghasilkan
narasi yang kemudian digunakan sebagai rujukan untuk menggambarkan
keadaan Majapahit. Isi catatan tersebut salah satunya demikian :
".....raja memiliki bawahan tujuh raja bermahkota dan pulaunya
berpenduduk banyak,merupakan pulau terbaik kedua yang pernah ada. Raja
pulau ini memiliki istana yang luar biasa mengagumkan karena besar,
tangga dan ruangannya berlapis emas dan perak,bahkan atapnya pun
bersepuh emas. Kini Khan agung dari cina beberapa kali berperang melawan
raja ini, akan tetapi selalu gagal,dan raja ini selalu berhasil
mengalahkannya....."
Terkait catatan ini, setidaknya ada dua analisa tentang situasi Odorico kala itu.
Analisa pertama :
Odorico selain datang langsung ke area Istana dan menjelajah daerah
kekuasaan Majapahit, dirinya juga telah melakukan penelusuran sejarah
dari sejumlah sumber. Dari sumber itu pulalah Odorico kemudian
mengetahui bahwa Majapahit sering kali diserang oleh pasukan Kubilai
Khan sebagai bentuk balas dendam terkait kejadian beberapa tahun lalu.
Pada tahun 1293, Pasukan Mongol memang pernah di peralat oleh Raden
Wijaya untuk menghantam pasukan Jayakatwang, namun saat Jayakatwang
kalah, mereka justru balik dihancurkan. Sisa yang berhasil melarikan
diri melaporkan pada Kaisar Kubilai Khan.
Analisa Kedua :
Tak lama setelah Odorico tiba, terjadi penyerangan oleh pasukan Mongol
sehingga dirinya terjebak dalam situasi perang. Saat itulah dirinya
mengetahui hal ihwal penyebab pertempuran. Usai perang, Pastor asal
Italia ini kemudian berkesempatan mengunjungi istana dan tempat-tempat
lain di wilayah Majapahit.
Persinggahan Odorico di Majapahit
kurang menekankan pada unsur pengabaran Injil, ini karena dirinya di
perintah Kepausan memang bukan untuk itu, melainkan dalam rangka ilmu
pengetahuan, yakni membuka cakrawala gereja Katolik terhadap peradaban
bangsa lain. Namun demikian, sangat mungkin Odorico mengalami dialog
religiusitas antara Katolik dengan Hindu - Budha, agama yang dianut
hampir oleh seluruh penduduk pulau Jawa, mulai dari pesisir hingga pusat
kota.
MENINGGALKAN MAJAPAHIT
Seusai menyinggahi
Majapahit, Romo Odorico kemudian melanjutkan pelayarannya ke Burneo,
Champa, dan akhirnya Guangzhou, China.
Tiga tahun berada di
China, di bawah pemerintahan Dinasti Yuan, Odorico kemudian kembali
pulang karena masa tugas perjalanannya telah habis. Sayangnya, di tahun
1331, saat hendak melaporkan catatan-catatan perjalanannya kepada Paus
di Avignon, beliau jatuh sakit dan wafat di usia 66 tahun.
CATATAN LAIN
Yang menarik, selain catatan tentang pulau Jawa, adalah tulisan yang
mendeskripsikan bagaimana praktek-praktek kanibalisme masih terjadi di
sebuah pulau yang bisa diindikasikan sebagai pulau Kalimantan ( Borneo).
Juga tentang makanan khas yang disebut sagu di Nusantara.
Bagi
Gereja Katolik, misi perjalanan Odorico memang menghasilkan banyak
catatan dan pengetahuan baru tentang peradaban Timur Jauh (kemudian
disebut Asia). Itu tidak lepas dari ketaatannya untuk mengikuti
perintah misi, yakni : terus membuat catatan perjalanan dan tidak boleh
pulang sejak mulai diberangkatkan di tahun 1316 hingga tahun 1330.
Pengutusan Odorico sendiri sesungguhnya merupakan pembuktian langsung
atas naskah berjudul Sir John Mandeville, sebuah naskah yang ditulis
oleh seseorang yang mengaku bernama sama dengan judul. Namun
berdasarkan catatan-catatan kesaksian langsung dari Ordorico, akhirnya
terbukti, bahwa apa yang terdapat dalam Sir John Mandeville sangatlah
kacau dan cenderung fiksi. Padahal buku itu sendiri pernah menjadi
inspirasi Christopher Columbus maupun Marco Polo dalam melakukan
perjalanan.
Pada periode selanjutnya, berbagai catatan perjalanan
Ordorico telah disalin dalam berbagai terjemahan sebagai bahan kajian
pengetahuan, referensi perjalanan maupun misi Katolik di kawasan Timur
Jauh.
Beberapa biarawan Katolik kemudian juga mengikuti jejaknya di Asia
dalam misi religius, diantaranya yang cukup terkenal adalah Fransiscus
Xaverius (menerima puluhan ribu penduduk Maluku, Malaka, Kalimantan dan
Sulawesi menjadi Katolik, sehingga menjadi tonggak awal berdirinya
gereja katolik di Nusantara) dan Dionysius a Natitivitate &
Redemptus a Cruce ( Martir – disiksa dan dibunuh atas perintah Sultan
Aceh Iskandar Thani karena hasutan berbau SARA dari penjajah Belanda ).
Oleh karena banyaknya mukjizat yang terjadi
pada makam Odorico da Pordenone di Udine, lalu penelusuran religiusitas
dan bukti-bukti ketaatan terhadap gereja Katolik, maka pada tahun 1755
Paus Benediktus XIV akhirnya memberikan penghormatan kekudusan lewat
beatifikasi. Sebuah patung Odoric juga didirikan di Pordenone pada
tahun 1881 untuk mengenang biarawan yang gemar berpuasa namun tetap giat
bekerja ini.
sumber : disini
disini
[Continue reading...]
Jakarta - Pemuka Katolik Romo Johannes Hariyanto
meminta agar Presiden Joko Widodo bertindak tegas melawan upaya
pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang terendus dalam rencana
revisi undang-undang di DPR.
Johannes mengatakan ada dua hal yang membuat Presiden memiliki kapasitas untuk melawan upaya pelemahan KPK di DPR.
Langkah pertama, Presiden sebagai kepala negara memiliki otoritas
yang bisa digunakan semaksimal mungkin, misalnya dengan tidak menyetujui
revisi UU KPK, terangnya kepada pers di Jakarta, Kamis (4/2).
Kedua, ada pernyataan langsung dari presiden untuk melakukan
moratorium terhadap segala usaha pelemahan UU KPK, sehingga hal tersebut
memberikan sinyal jelas tentang sikap pemerintah.
"Kita tahu bahwa 'korban' KPK ialah orang-orang yang bisa merumuskan
undang-undang. Ini akan mengerikan karena seluruh upaya pelemahan KPK
hanya untuk menyelamatkan dirinya sendiri," lanjut Johannes.
Dia menambahkan tindakan DPR ini lebih dari sekedar kejahatan
korupsi, karena bisa dikategorikan sebagai kejahatan untuk melawan
bangsa.
"Akhirnya kepentingan diri sendiri lebih utama dibandingkan
kepentingan bangsa dan memakai instrumen formal, yakni kewenangan
sebagai anggota DPR untuk bisa melindungi dirinya sendiri," pungkasnya.
Baca juga: seorang wanita mencuri waktu Misa, di polisikan
Sementara itu, Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) juga
memberikan empat catatan kepada presiden terkait dengan pelemahan KPK
melalui revisi UU KPK. Keempat catatan tersebut, yakni :
1. Upaya membatasi hak KPK melakukan penyadapan, nyata-nyata telah
mengebiri kekuatan KPK yang justru selama ini banyak menjerat para
koruptor dengan proses penyadapan ini. Keberatan sementara pihak bahwa
penyadapan ini mengganggu privasi sangatlah absurd, mengingat perilaku
pejabat publik haruslah transparan dan tak perlu ada yang harus
disembunyikan. Selain itu, penyadapan dengan ijin pengadilan akan
memperlambat proses investigasi serta kemungkinan terjadi kebocoran
informasi;
2. Dihilangkannya wewenang KPK melakukan penuntutan juga akan
melemahkan posisi tawar KPK. Keinginan sementara pihak untuk melimpahkan
wewenang ini semata-mata kepada Kejaksaan merupakan amnesia sejarah,
karena munculnya KPK adalah karena ketidakpercayaan publik kepada aparat
dan proses-proses di Kejaksaan; dan hal ini belum pulih hingga kini;
3. Dihilangkannya wewenang KPK merekrut penyidik independen di luar
Kejaksaan dan Kepolisian juga merupakan upaya pelemahan karena hal ini
akan semakin menempatkan KPK dalam rentang kendali Kepolisian dan
Kejaksaan, sesuatu yang justru hendak dikoreksi dengan lahirnya KPK
dalam semangat Reformasi;
4. Sebaliknya, keinginan sementara pihak untuk memberikan wewenang
menghentikan perkara (SP3) kepada KPK juga akan melemahkan KPK karena
berpotensi membuat aparat KPK "bermain-main" dengan perkara, atau
membuka potensi tawar menawar kasus.
sumber : disini
[Continue reading...]