SINGKIL - Pemerintah provinsi Aceh mengimbau agar umat Kristen di Kabupaten Aceh Singkil tak lagi menggunakan lokasi gereja yang sudah dibongkar sebagai tempat peribadatan Natal. Pemprov meminta agar peribadatan dilakukan di rumah-rumah ibadah yang ada izinnya.
Kepala Biro Humas Pemerintah Provinsi Aceh Frans Dellian
mengatakan bahwa tidak ada larangan terhadap perayaan Natal yang
berlangsung di rumah-rumah pribadi umat, asal dilakukan “sesuai dengan
ketentuan yang disepakati”.
“Maksudnya, kalau seandainya di rumah,
tapi dalam jumlah besar, di luar anggota keluarga itu, itu kan berarti
harus sesuai ketentuannya yang diatur di sana.
Jadi kalau (diadakan) di rumah, berarti hanya untuk orang (penghuni) rumah yang bersangkutan, kalau nanti mengundang (orang), kan skalanya banyak lagi. Nah itu kan ada kesepakatannya di sana,” ujar Frans.
Jadi kalau (diadakan) di rumah, berarti hanya untuk orang (penghuni) rumah yang bersangkutan, kalau nanti mengundang (orang), kan skalanya banyak lagi. Nah itu kan ada kesepakatannya di sana,” ujar Frans.
Menurut Frans, yang berubah dalam perayaan Natal di Aceh Singkil tahun ini hanya lokasi.
“Jika
dulu merayakan di rumah ibadah yang sekarang sudah ditutup kemudian,
pindah ke rumah ibadah yang sudah ada izin. Itu aja masalah penggeseran,
” kata Frans lagi.
Baca juga: Gereja Disegel, Ratusan Umat HKBP Beribadah Di Kantor Walikota Jambi
Baca juga: Gereja Disegel, Ratusan Umat HKBP Beribadah Di Kantor Walikota Jambi
Namun pemimpin Gereja Kristen Protestan Pakpak
Dairi Elson Lingga yang mewakili umat Kristiani di Aceh Singkil
mengatakan rencana pemerintah tersebut sulit dilakukan.
Kekhawatiran mereka itu, kalau dilarang (di lokasi gereja), kalau di rumah juga dilarang, mereka ketakutan, gimana kami itu,” ujar Elson.
Menurut Elson, ada permintaan lisan yang disampaikan oleh pemerintah
kepada umat Kristiani di Aceh Singkil dalam pertemuan dua hari terakhir
agar mereka tak lagi menggunakan tempat ibadah yang sudah dibongkar atas
dasar “tekanan dari pihak intoleran yang akan bertindak.”
Frans
mengatakan bahwa pemerintah sudah menyiapkan bus yang selama ini
digunakan untuk mengangkut anak sekolah agar digunakan bagi transportasi
umat yang harus pindah rumah peribadatannya.
Namun ketika
disinggung soal bus yang dijanjikan pemerintah, “Ya nggak ada lah. Tapi
gimana caranya itu, besok tanggal 24-25 Natal, sekarang dijanjikan,
gimana caranya itu. Ini kan bukan cuma 1 gereja, (tapi) 10 gereja,
gimana caranya itu?”
Informasi yang kita dapat, mereka hanya
diperbolehkan di gereja yang memiliki izin, padahal yang punya izin
hanya dua, gereja. Sementara jumlah umatnya ditotal mencapai 30 ribu
warga.
Wakil ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos
mengatakan bahwa tak semestinya pemerintah melarang peribadatan Natal di
rumah-rumah pribadi bagi kelompok dalam jumlah besar.
“Tidak ada
larangan bagi sebuah kelompok untuk melakukan kebaktian, upacara Natal,
di suatu tempat yang bukan gereja, apalagi dalam keadaan darurat seperti
ini,” ujar Bonar.
Bonar menyebut bahwa konstitusi menyatakan
setiap WNI bebas menjalankan agama dan kepercayaan, sekaligus juga
memiliki hak kebebasan berkumpul sehingga dia menilai imbauan Pemprov
Aceh ini “melanggar konstitusi”.
“Negara boleh melakukan
pengaturan, membuat undang-undang, tapi bukan kemudian merampas hak
tersebut. Kecenderungan selalu seperti ini. Dengan alasan menjaga
keamanan, ada protes dari kelompok lain, kemudian mereka yang kecil
diminta untuk mengalah, bahkan haknya diabaikan, ini kecenderungan terus
berulang, bukan hanya masa sekarang ini, tapi di masa SBY, Soeharto.
Ini ada toleransi semu sebenarnya yang terjadi sekarang ini,” ujar Bonar.
Ini ada toleransi semu sebenarnya yang terjadi sekarang ini,” ujar Bonar.
Pemerintah menurut Bonar seharusnya bisa memberi bantuan
lebih agar hak warga negara untuk beribadah tetap terpenuhi, di tengah
situasi yang “darurat”.