Saat aku masih kecil sering diceritakan oleh Ibuku tentang Indonesia yang beraneka ragam, baik bahasa, suku, agama dan warna kulit, oleh Ibuku sering disebut Bhinneka Tunggal Ika.
Ibuku suka sekali bercerita, tentang sejarah, legenda dan tokoh-tokoh dunia, tapi yang paling aku sukai saat Ibu bercerita tentang agama.
Bukan tentang surga atau neraka seperti yang sering disampaikan oleh guru agamaku di sekolah.
Tentang agama, Ibuku sering bercerita tentang kisah pengorbanan Yesus dan kelembutan hatinya, tentang dewa-dewa umat Hindu, kisah pencerahan sang Buddha, dan juga tentang akhlak nabi Muhammad yang sangat beliau kagumi.
Kata Ibuku kala itu, semua agama mengajarkan kebaikan dan penuh kedamaian.
Saat aku duduk di kelas dua SD aku pernah bertanya kepada Ibu, “Bu, apakah orang Budha, Katolik, dan Hindu akan masuk surga?” Dijawab oleh Ibuku bahwa mereka semua juga akan masuk surga.
Sayangnya jawaban seperti yang disampaikan oleh Ibuku tidak akan aku dapatkan lagi dalam ruang-ruang keluarga di Indonesia saat ini.
Saling curiga, sesat menyesatkan, mengkafirkan orang lain dan klaim agama yang paling benar lebih mendominasi kehidupan beragama kita hari ini. Andai Ibuku masih hidup tentu beliau akan bersedih.
Oh ya ada baiknya aku ceritakan terlebih dahulu latar belakang keluargaku. Ibuku dilahirkan dari keluarga dengan pemahaman agama yang sangat konservatif, keluarga Ibuku adalah pengikut organisasi keagamaan Lemkari atau yang saat ini dikenal dengan nama LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia). Organisasi ini dianggap sesat oleh sebagian kalangan umat Islam di Indonesia.
Sedangkan Bapakku seorang abangan tulen, beliau tidak akrab dengan ritual keagamaan. Tempat tinggal kami, merupakan basis Islam yang kaya akan tradisi keagamaannya, ada dua pesantren NU di dekat rumah kami. Aku tumbuh dengan warna-warni perbedaan.
Walaupun dibesarkan dalam keluarga konservatif, soal agama Ibuku sangat moderat. Kata Ibuku, perbedaan bukan menjadi sebuah halangan, termasuk dalam keyakinan beragama. Soal perbedaan keyakinan ini Ibu pernah bercerita tentang salah satu adik perempuannya yang menikah dengan orang yang beragama Katolik. Perbedaan keyakinan yang menjadi pertentangan keluarga saat itu, kata Ibuku bisa didamaikan dengan dialog terus menerus.
Soal pandangan politik, antara Ibu dengan Bapak juga bagai minyak dengan air, tidak akan bersatu. Sebagai seorang PNS saat Orde Baru berkuasa, Ibuku adalah kader Golkar. Suka atau tidak suka seluruh keluarga juga diwajibkan memilih Golkar. Tapi itu tidak berlaku buat Bapakku, beliau tidak sudi memilih Golkar.
Selama Orde Baru, beliau memilih golput. Tentang beda pilihan politik ini, Ibuku juga tidak pernah mempermasalahkannya walaupun risikonya sangat besar saat itu.
Di kemudian hari baru aku mengerti kenapa Bapak tidak sudi memilih Golkar dan memilih golput, buku Di Bawah Asap Pabrik Gula yang ditulis Hiroyosi Kano dan Frans Husken yang diterbitkan oleh Universitas Gadja Mada, membukakan mataku akan sejarah kelam dari keluarga Bapak.
Buku yang membahas hasil penelitian tentang masyarakat pesisir Jawa sepanjang abad 20 ini, salah satu babnya membahas konflik politik setelah tragedi 65. Diceritakan dalam bab tersebut bagaimana keluarga Bapak dibantai oleh gerombolan tentara dengan tuduhan sebagai antek PKI.
Menghargai perbedaan memang tidak mudah, baik agama maupun pandangan politik. Perbedaan agama misalnya seringkali menjadi sumbu pertikaian yang setiap saat bisa terbakar. Pun demikian soal tragedi 65, rekonsiliasi belum menjadi pilihan terbaik untuk mengakhiri konflik yang melelahkan anak bangsa ini. Untuk kedua masalah tersebut kedua orang tuaku lebih memilih jalan dialog untuk merangkul perbedaan.
Apakah dengan latar belakang keluargaku yang penuh perbedaan sudah cukup untuk mengenalkan aku tentang toleransi? Tentu saja tidak cukup. Pengalaman tinggal di Maumere Flores selama hampir lima tahun yang kemudian ‘mengkhatamkan’ aku tentang toleransi, ini pengalaman paling pribadi dan akan aku ceritakan dalam tulisan ini.
Tahun 2010 aku mendapatkan tugas untuk bekerja di Pulau Flores, tepatnya di Kabupaten Sikka. Aku tinggal di sebuah desa di pesisir utara 30 kilometer dari kota Maumere, Desa Reroroja namanya. Di Desa ini mayoritas penduduknya beragama Katolik, hanya sedikit saja yang muslim, biasanya pendatang dan orang dari suku Bajo.
Di desa ini orang Katolik dan Muslim hidup damai dalam perbedaan, tidak ada sejarah konflik antara keduanya. Dari tempat inilah aku mulai belajar tentang toleransi yang sesungguhnya.
Awalnya kekhawatiran tidak bisa diterima karena aku seorang muslim sempat terlintas dalam pikiranku, tapi semuanya sirna saat aku bertemu dengan mereka, keramahan dan kehangatan mereka begitu tulus menyambutku. Begitu pun ketika mereka tahu kalau aku seorang muslim mereka sangat menghormatiku. Misalnya saat aku berkunjung ke rumah-rumah mereka, tanpa diminta mereka selalu menyediakan tempat untuk salat.
Untuk tempat salat ini kadang aku sampai tidak enak sendiri, mereka memberikan alas kain tenun terbaik mereka untuk dijadikan sajadah padahal lantai rumahnya masih tanah.
Untuk makan pun mereka sangat hati-hati, mereka tahu kalau seorang muslim tidak makan daging babi dan anjing. Saat aku diundang ke acara pesta nikah atau acara sambut baru, menu khusus telah mereka siapkan berupa ayam dan ikan.
Biasanya sebelum ayam dimasak mereka mengundangku terlebih dahulu untuk menyembelih sendiri ayamnya. Tidak hanya dalam pesta, di hari-hari biasa pun saat mereka mengundangku makan bersama, mereka tidak akan menyediakan makanan yang dilarang oleh agamaku.
Saat acara makan bersama, yang paling aku sukai adalah saat mereka membaca doa, doanya, “Tuhan yang maha baik, terima kasih atas makanan yang telah Engkau sediakan ini, berkatilah makanan ini supaya menjadi sumber kesehatan bagi kami, berkatilah mereka yang telah menyiapkan makanan ini untuk kami, dan berkatilah pula orang-orang di luar sana yang masih kelaparan atau yang belum dapat menikmati makanan seperti ini, Terima kasih Tuhan, amin.
Jujur ketika pertama kali mendengar doa tersebut aku sampai menitikkan air mata, bukan karena kehangatan mereka dalam menjamuku, tapi karena ditengah kemiskinan yang mereka alami mereka masih mendoakan orang-orang yang kelaparan, yang belum bisa menikmati makanan seperti yang kami makan saat itu.
Acara makan bersama menjadi tempat kami untuk saling berbagi, tidak hanya makanan dan kebahagiaan tetapi juga berbagi doa, tanpa ragu mereka mempersilahkan aku untuk memimpin doa secara bergantian, tentu saja doa sesuai dengan keyakinanku.
Satu lagi peristiwa yang membuat aku menyakini bahwa toleransi tidak mengenal sekat-sekat keyakinan, saat salah satu tetanggaku meninggal dunia, namanya Mama Tini. Beliau seorang muslim yang dihormati di kalangan orang Bajo. Saat penguburan dilakukan beliau didoakan dalam doa dua agama, Islam dan Katolik. Tidak ada penolakan dari keluarga saat perwakilan tokoh agama Katolik memimpin doa dan memberikan khotbah penutup kepada almarhum.
Pengalaman tentang toleransi kemudian banyak aku dapatkan tidak hanya di Maumere, tetapi juga di daerah-daerah lain di Pulau Flores. Di Larantuka aku banyak belajar pada acara perayaan Semana Santa, di mana orang muslim membaur dengan orang Katolik untuk merayakan bersama pekan suci menyambut Paskah. Di Lembata, temanku yang Katolik rela bangun tengah malam hanya untuk menyiapkan makan sahur saat di bulan puasa.
Di Ende banyak aku temui dalam satu keluarga ada yang beragama Islam dan Katholik. Mereka begitu tulus menghormati perbedaan dan melakukannya dengan penuh kegembiraan. Bagiku Pulau Flores adalah kamus toleransi terlengkap yang ada di Indonesia bahkan di dunia.
Penghormatan umat Katolik di Pulau Flores terhadap perbedaan, mengingatkan aku pada cendekiawan Muhammad Abduh yang pernah mengatakan, “Ra’aitu al Islama duna al muslimin, wa ra’aitu al muslimin duna al-islam,” ya nilai-nilai Islami terlihat di tengah masyarakat nonmuslim, sementara umat Islam hidup tanpa nilai-nilai Islam.
Kondisi ini sangat relevan dengan apa yang terjadi saat ini, di mana daerah-daerah mayoritas muslim tidak ramah lagi dengan perbedaan, gerombolan intoleran tumbuh subur dan penguasa daerah berlomba-lomba menerbitkan peraturan untuk membungkam toleransi.
Toleransi tidak lahir dari khotbah di mimbar-mimbar tempat ibadah, forum diskusi, dan kebijakan penguasa, ia lahir dari sebuah tindakan, dan tindakan membutuhkan sebuah kejujuran. Umat Katolik di Flores telah membuktikan bahwa toleransi adalah sebuah tindakan bukan lagi perdebatan, apalagi hanya sekedar slogan semata.
Aku berharap di usia yang ke 71 tahun ini, Indonesia benar-benar merdeka. Tidak ada lagi penganut Syiah di Sampang menjadi pengungsi, tidak ada lagi perusakan Masjid Ahmadiyah, tidak ada lagi teror bagi penghayat kepercayaan, kemudahan mendirikan tempat ibadah apapun agamanya, dan juga tidak ada lagi pembubaran forum-forum diskusi.
Sebagai orang tua saat ini, tentu saja aku ingin mewariskan cerita dari Ibuku kepada anak-anakku bahwa semua agama mengajarkan kebaikan dan kedamaian.
sumber: disini