Menandai 60 tahun Gereja Kristen Injili (GKI) di Papua dinodai dengan
kerusuhan di Manokwari kendati pihak Kepolisian telah berhasil
mengendalikan situasi pasca aksi massa berdarah 26 Oktober.
Dalam aksi massa itu seorang meninggal, sejumlah orang terluka,
termasuk Danramil. Pos polisi dirusak, enam sepeda motor dibakar dan ada
upaya massa untuk membakar sejumlah kantor.
Kronologi peristiwa berdarah itu masih belum jelas akibat adanya
berbagai versi. Satuharapan.com mendapatkan sejumlah data yang masih
memerlukan verifikasi.
Peristiwa itu terjadi pada 26 Oktober yang adalah hari libur resmi di
Tanah Papua, termasuk di Manokwari. Hari itu diperingati sebagai hari
lahirnya GKI di Tanah Papua 60 tahun silam – 26 Oktober 1956.
Namun, kata Yan Christian Warinussy, direktur LP3BH Manokwari, hari
bersejarah ini dinodai oleh peristiwa yang menyedihkan.
Awalnya adalah
ketika seorang anak muda bermarga Pauspaus asal Fakfak mengalami
tindakan kekerasan. Ia ditikam dengan pisau oleh dua orang pelaku yang
diduga berasal dari Sulawesi Selatan (Bugis Makassar) di seputaran
kawasan Sanggeng-Manokwari.
Akibatnya, sejumlah kerabat dan teman dari korban tidak terima dan
melakukan pemalangan jalan Yos Sudarso dengan cara membakar ban serta
melakukan tindakan hendak mencari sang pelaku penusukan/penikaman tadi.
Aparat kepolisian dari Polres Manokwari yang didukung oleh Brimob
Polda Papua Barat dan personel polisi Polda Papua Barat, dipimpin
langsung Kapolda Papua Barat, Brigjen Pol Royke Lumowa, langsung turun
mengamankan situasi.
Tapi, menurut Yan Christian, berdasarkan informasi dari warga sipil
di kawasan Sanggeng, aparat polisi kemudian melakukan tindakan menembak
secara membabi-buta hingga mengakibatkan jatuh korban di pihak warga
sipil Sanggeng.
Menurut informasi warga yang belum diverifikasi, terdapat 7 (tujuh)
korban luka tembak senjata api, salah satunya Ones Rumayom, 45, yang
kemudian meninggal. Selebihnya, Erik Inggabouw, 18, dan 5 (lima) orang
lain yang masih diidentifikasi identitasnya.
Mereka berenam saat ini
masih dirawat di Rumah Sakit Angkatan Laut (RSAL) Dr. Ashari – Biryosi,
Manokwari-Papua Barat.
Meninggal bukan karena tembakan
Sementara itu keterangan pihak Kepolisian Papua Barat mengatakan
bahwa berita yang beredar mengatakan korban penikaman ususnya terurai,
tidak benar. Luka yang benar adalah di punggung. Saat ini korban masih
dirawat di RS AL Manokwari.
Menurut polisi, peristiwa bermula dari korban, Vijay Pauspaus, makan
di warung kaki lima. Ia dikatakan membuat kekacauan dengan tidak
membayar dan merusak warung.
Pada perkembangannya ada kesanggupan dari korban untuk membayar tetapi sudah terlanjur terjadi kesalahpahaman.
Warga sekitar warung menegurnya, tetapi tidak digubris. Akhirnya terjadi perkelahian yang mengakibatkan luka tusuk pada korban.
Warga Sanggeng yang merupakan daerah asal korban, marah mendengar
kejadian itu lalu melakukan penyerangan terhadap polisi/patroli rayon.
Pos dirusak, enam sepeda motor dibakar. Massa pun dilaporkan mencoba
membakar kantor BRI dan bangunan di sekitarnya.
Kapolri Jenderal Tito Karnavian telah menginstruksikan jajarannya
untuk mencari pelaku penembakan. Dipastikan Tito pelaku penembakan akan
diproses jika terbukti melakukan pelanggaran hukum.
“Tentunya, termasuk proses penembakan tersebut oleh siapa, sesuai
prosedur atau tidak.
Kalau ada pelanggaran hukum kita akan proses, kalau
ada penegakan disiplin kita akan tegakan, kalau dia melakukan pembelaan
diri kan lain lagi,” kata Tito di Mabes Polri, Jakarta, Kamis (27/10),
seperti dilansir Satuharapan.com.
sumber : disini
[Continue reading...]
BARTELLA, - Kendati keadaan belum aman sepenuhnya,
beberapa orang Kristen Asyur telah berani pulang ke kampung halaman
mereka di kota Bartella, sebuah kota di bagian utara Irak yang mayoritas
penduduknya beragama Kristen.
ISIS telah kalah dan berhasil dihalau
dari kota itu.
Mereka menegakkan kembali salib yang pernah dilenyapkan.
Mereka
memasuki ruang gereja yang berantakan dan memanjatkan Doa Bapa Kami, doa
universal yang diajarkan Yesus kepada umat Kristen yang mengajarkan
kepasrahan, pengharapan dan pengampunan.
Kelompok ekstremis Negara Islam Irak dan Suriah atau ISIS telah dua
tahun mengendalikan kota itu.
Tetapi sejak awal pekan ini, mereka
digempur dan takluk kepada pasukan Irak yang didukung oleh koalisi
pimpinan AS. ISIS praktis telah terhalau dari kota itu.
Ini mendatangkan sukacita bagi warga Kristen Asyur. Los Angeles Times
menggambarkan sukacita itu lewat Hussam Matti, salah seorang penduduk
Bartella, yang pulang dan merayakan kekalahan ISIS.
Ia berlutut ke
tanah, meraih dua genggam tanah dan menuangkannya di atas kepalanya. Itu
cara dia merayakan telah kembalinya dirinya ke Bartella.
"Ini adalah bumi Bartella," teriaknya. "Ini tanah kami."
Pasukan pemerintah awal pekan ini merebut kembali kota Bartella, yang
jaraknya delapan mil di sebelah timur Mosul.
Namun sampai hari Sabtu,
suara desing peluru dan pertempuran masih berlangsung. Kota ini
merupakan jalur penting menuju Mosul, kubu utama terakhir ISIS.
Pertempuran juga masih terus berlangsung di Kirkuk, 100 mil di
sebelah tenggara Mosul, di mana militan ISIS sebelumnya telah
meluncurkan kontra-serangan besar.
Para pejabat lokal mengatakan
sedikitnya 80 orang tewas dalam operasi itu, sebagian besar aparat
keamanan Kurdi, dan sekitar 170 luka-luka.
Mayat 56 gerilyawan ISIS telah diangkut dari kota itu, kata para pejabat setempat.
"Hampir semua teroris yang masuk Kirkuk telah dieliminasi, dan kami
memiliki kontrol penuh, kecuali mungkin satu daerah di mana mereka
sedang dpaksa akan keluar," kata Perdana Menteri Irak Haider Abadi
setelah pertemuan di Baghdad dengan Menteri Pertahanan AS Ash Carter
pada hari Sabtu.
Pulang ke Rumah adalah Perayaan
Dikuasainya Bartella dianggap sebagai langkah besar karena sebelumnya
ini merupakan rintangan penting menuju Mosul.
Dan bagi warga, kembali
untuk pertama kalinya ke Bartella sejak militan ISIS diusir pekan ini,
merupakan perayaan.
Dulu mereka tidak pernah terpikir kota kecil berpenduduk 20.000 ini
akan jatuh ke dalam cengkeraman ISIS.
Tetapi dua tahun lalu ISIS
memasuki kota dan mengumumkan kekhalifahan mereka.
Beberapa minggu setelah Mosul jatuh, warga Bartella masih berkumpul
di kafe-kafe kecil minum kopi dan bermain domino. Mereka masih yakin
bisa tinggal di kota itu.
Lalu para jihadis ISIS menghancurkan semua
ketentraman. Mereka menghabisi tentara pasukan Kurdi yang menjaga
Bartella.
Para warga Kristen itu pun mengungsi.
Minggu ini, dalam kampanye untuk membebaskan Mosul, anggota pasukan
elit Counter-Terrorism Services Irak menghalau militan ISIS dari
Bartella. Itu merupakan pertempuran yang brutal.
Tembak-menembak terjadi
di jalanan dan di berbagai front.
Pasukan Irak berhasil sepenuhnya merebut kembali kota Bartella, walau
masih menghadapi perlawanan di beberapa kantong perlawanan.
Bagi Matti, meskipun masih berbahaya, tidak ada ketakutan untuk pulang, setelah dua tahun mengungsi ke Baghdad.
"Dalam dua tahun ini saya (serasa) mati. Sudah 32 tahun saya hidup --
saya akan melupakan mereka (ISIS).
Sekarang saya lahir kembali," kata
dia, didampingi beberapa anggota pasukannya, semuanya adalah milisi
Kristen Kurdi.
Mereka membawa dua potong kayu untuk dijadikan berbentuk salib.
Mereka membawanya ke puncak Mar Smony, gereja di sisi timur kota.
Mereka
mengangkat salib ke atas kubah gereja dan menghiasinya dengan bendera
Irak.
Salah seorang dari mereka, dengan sentuhan upacara, menyusun
dekorasi kandang Natal yang ia dapatkan dari dalam ruangan gereja yang
sudah hancur.
Para pejuang ISIS telah merubuhkan semua salib ketika mereka menyerbu kota itu dua tahun lalu.
"Saya tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Menangis? Tertawa? Saya
belum percaya ada di sini, " kata Khaled Shamoun, seorang milisi Kristen
berusia 52 tahun, memandang salib ketika seorang prajurit membunyikan
lonceng gereja terdekat.
Shamoun telah kembali dari Baghdad empat hari sebelumnya bersama
dengan anaknya untuk bergabung dengan milisi Kristen lain di daerah itu.
Ia sangat ingin pergi ke kampung halamannya Qaraqosh, sebuah kota
Kristen Asyur terletak 20 mil sebelah tenggara Mosul, yang masih
dikuasai ISIS.
Para milisi itu kemudian masuk ke dalam gereja di antara buku-buku
doa yang hangus dan mimbar kayu yang porak-poranda.
Mereka duduk di
bangku di depan altar kuno gereja Mar Shmony. Serempak mereka
memanjatkan Doa Bapa Kami.
Gereja yang berantakan itu mengingatkan mereka pada apa yang pernah
hilang: Mar Shmony dulunya tempat yang elegan untuk beribadah.
Ia kini
hancur. Di beberapa tempat, ada tulisan-tulisan grafiti yang dipakai
ISIS untuk menegaskan bahwa mereka menguasai properti itu.
Kemenangan yang Pahit
Bagi beberapa orang seperti Saher Shamoun, seorang tua yang datang
untuk memeriksa rumahnya, kemenangan atas ISIS itu terasa pahit.
Dia menatap tumpukan batu dan baja, sisa-sisa dari rumahnya yang
diruntuhkan. Rumah itu dia bangun dengan menabung dari gajinya sebagai
pegawai pemerintah.
Meskipun ia telah mendengar dari teman dan melihat gambar satelit
dari Google Earth yang menunjukkan bahwa rumahnya telah hancur, dia
bersikeras datang untuk melihat sendiri.
"Ketika saya melihat itu hati saya terkatup," katanya. "Anak-anak
saya tinggal dan menikah di sini, dan anak-anak mereka tinggal di sini."
Dia mengatakan dia tidak memiliki uang untuk membangunnya kembali.
"Orang-orang akan datang dan kembali ke rumah mereka .... Apa yang akan saya lakukan, memasang tenda? "kata dia penuh ironi.
sumber : disini
[Continue reading...]
PEKANBARU - Sejumlah siswa SMK Negeri 1 Peranap yang
beragama Kristen mengaku diperlakukan diskriminasi oleh pihak sekolah
terkait bidang studi Agama Kristen.
Larangan proses belajar agama Kristen yang tidak diperbolehkan di
dalam kelas sudah lama berlangsung. Berdasarkan informasi yang diperoleh
larangan itu berasal dari para guru yang disetujui kepala sekolah.
Kepala sekolah dan sejumlah guru disebut-sebut tidak mengijinkan proses
belajar mengajar didalam kelas untuk bidang study agama Kristen. Hal itu
diungkapkan oleh Devi Sianturi siswi kelas X SMK Negeri 1 Peranap,
Senin (24/10).
Hal senada juga dituturkan oleh Ika Silalahi siswi SMK Negeri 1
Peranap, Senin 24 (10/16) bahwa proses belajar mengajar pendidikan agama
kristen tidak diperbolehkan di dalam kelas.
"Kami tidak pernah belajar
Agama Kristen Pak, untuk mendapatkan nilai agama Kristen kami selalu
meminta dari gereja masing-masing, karena tidak ada pelajaran agama
Kristen di sekolah," katanya.
Kepala Sekolah SMK Negeri 1 Peranap, Fatoni, ketika dikonfirmasi di
kantornya Senin (24/10), mengakui bahwa siswa yang beragama Kristen itu
tidak diizinkan di ruang kelas.
Menurutnya, larangan itu dikeluarkan
karena takut ada ancaman dari pihak-pihak yang intoleran.
"Saya takut masyarakat di sini kan (daerah Peranap-red) mayoritas beragama Islam," ujarnya.
Dikatakan, bahwa jumlah siswa Kristen di SMK Negeri Peranap mencapai
80 orang dan untuk mendapatkan nilai untuk rapor mereka, justru siswa
sendiri yang harus berusaha dari pendeta masing-masing.
Ditanya solusinya agar siswa itu punya guru Agama Kristen, kepala
sekolah menjawab akan berkoordinasi dengan Komite sekolah dan Dinas
Pendidikan Kabupaten.
"Inikan tidak bisa saya putuskan sekarang, harus
ada prosedur untuk pengajuan guru agama Kristen," katanya.
sumber : disini
[Continue reading...]
CHICAGO - Seorang pensiunan pendeta Gereja Baptis
tewas ditembak mati oleh seorang pendeta lainnya setelah mereka berdebat
mengenai ayat-ayat Alkitab di sebuah panti jompo di Chicago, AS.
Allen Smith, berusia 80 tahun, adalah seorang pendeta lulusan Yale
Divinity School, tewas ditembak oleh Ted Merchant, 67 tahun, seorang
pendeta yang sehari-hari menggunakan kursi roda.
Keduanya, menurut The Chicago Tribune, mengelola sebuah gereja pada panti jompo yang bernama Senior Suites of Rainbow Beach.
Peristiwa mengerikan itu terjadi pada hari Senin dini hari (7/9),
berlangsung ketika mereka duduk di teras belakang panti, melakukan
diskusi rutin tengah malam tentang ayat-ayat Alkitab.
Lalu Merchant
menarik pelatuk pistolnya yang menyebabkan meninggalnya Smith. Smith
mendapat tembakan dua kali di kepalanya.
Merchant sempat melarikan diri dengan kursi roda bermotornya, namun
berhasil ditangkap tiga blok dari kejadikan sekitar pukul 06;00 pagi
harinya.
Ia kemudian didakwa dengan pembunuhan tingkat pertama dan akan
menghadapi pengadilan pada hari Rabu.
Polisi mengatakan penembakan itu tertangkap kamera. Tiga orang saksi mata mengatakan Merchant sebagai pelakunya.
Para penghuni panti mengatakan terkejut atas kejadian itu. Sebab keduanya adalah sahabat.
"Mereka selalu berada di luar sana [di teras] sepanjang waktu," kata Dorothy Hull, salah seorang penghuni panti.
"Mereka berbicara tentang ayat-ayat Alkitab dan ide-ide tentang
Tuhan. Mereka selalu berdebat kecil tentang hal-hal seperti itu. Ini
sangat mengejutkan," tambahnya.
"Saya tidak pernah bisa terlibat karena dia (Merchant) menjalankan
sebuah gereja di ruang komunitas setiap Minggu pagi.
Dia sudah pensiun
juga, tapi dia masih menjalankan gereja. Saya tidak bisa percaya dia
melakukan itu," kata dia lagi, sebagaimana dilansir dari christiantoday.com.
The Christian Today mencoba menghubungi Kepolisian Chicago
untuk rincian lebih lanjut tentang mengapa Smith ditembak mati tapi
perwakilan media dari instansi itu tidak tersedia untuk menanggapi
pertanyaan.
Laman resmi gereja Christian Tabernacle Baptist Church (CTBC) di
Hamden, Connecticut, mengatakan gereja itu didirikan oleh Smith pada
tahun 1962 setelah sebelumnya bekerja dalam pelayanan di New York City.
"CTBC mengadakan layanan pertama ibadah pada 8 Juli 1962. Pada 5
Agustus 1962, kelompok ibadah yang baru terbentuk menerima 54 orang
sebagai anggota pertama.
Jemaat gereja baru diselenggarakan di bawah
kepemimpinan pastoral dari Pdt Allen H . Smith, lulusan Yale Divinity
School," demikian bunyi keterangan di laman gereja tersebut.
Menurut laman facebook gereja itu, upacara pemakaman Smith dilaksanakan pada pukul 19:00 hari Rabu.
"Sedih karena saya tidak berada di sana. Tetapi saya akan bersama
mereka dalam roh.
Yang menarik, hari ini 48 tahun yang lalu Pendeta
Smith di tempat ini memberkati orang tua saya dalam perkawinan suci.
Mereka pasti akan merindukan dia, "tulis Michelle Wright dalam
menanggapi pengumuman kematian Smith
Wilfred Sealy menambahkan, "Sangat menyedihkan bagi seorang hamba
Allah yang diambil dari kita dengan cara seperti ini. Kita harus terus
berdoa hari demi hari."
sumber : disini
[Continue reading...]
Saat aku masih kecil sering diceritakan oleh Ibuku tentang Indonesia yang beraneka ragam, baik bahasa, suku, agama dan warna kulit, oleh Ibuku sering disebut Bhinneka Tunggal Ika.
Ibuku suka sekali bercerita, tentang sejarah, legenda dan tokoh-tokoh dunia, tapi yang paling aku sukai saat Ibu bercerita tentang agama.
Bukan tentang surga atau neraka seperti yang sering disampaikan oleh guru agamaku di sekolah.
Tentang agama, Ibuku sering bercerita tentang kisah pengorbanan Yesus dan kelembutan hatinya, tentang dewa-dewa umat Hindu, kisah pencerahan sang Buddha, dan juga tentang akhlak nabi Muhammad yang sangat beliau kagumi.
Kata Ibuku kala itu, semua agama mengajarkan kebaikan dan penuh kedamaian.
Saat aku duduk di kelas dua SD aku pernah bertanya kepada Ibu, “Bu, apakah orang Budha, Katolik, dan Hindu akan masuk surga?” Dijawab oleh Ibuku bahwa mereka semua juga akan masuk surga.
Sayangnya jawaban seperti yang disampaikan oleh Ibuku tidak akan aku dapatkan lagi dalam ruang-ruang keluarga di Indonesia saat ini.
Saling curiga, sesat menyesatkan, mengkafirkan orang lain dan klaim agama yang paling benar lebih mendominasi kehidupan beragama kita hari ini. Andai Ibuku masih hidup tentu beliau akan bersedih.
Oh ya ada baiknya aku ceritakan terlebih dahulu latar belakang keluargaku. Ibuku dilahirkan dari keluarga dengan pemahaman agama yang sangat konservatif, keluarga Ibuku adalah pengikut organisasi keagamaan Lemkari atau yang saat ini dikenal dengan nama LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia). Organisasi ini dianggap sesat oleh sebagian kalangan umat Islam di Indonesia.
Sedangkan Bapakku seorang abangan tulen, beliau tidak akrab dengan ritual keagamaan. Tempat tinggal kami, merupakan basis Islam yang kaya akan tradisi keagamaannya, ada dua pesantren NU di dekat rumah kami. Aku tumbuh dengan warna-warni perbedaan.
Walaupun dibesarkan dalam keluarga konservatif, soal agama Ibuku sangat moderat. Kata Ibuku, perbedaan bukan menjadi sebuah halangan, termasuk dalam keyakinan beragama. Soal perbedaan keyakinan ini Ibu pernah bercerita tentang salah satu adik perempuannya yang menikah dengan orang yang beragama Katolik. Perbedaan keyakinan yang menjadi pertentangan keluarga saat itu, kata Ibuku bisa didamaikan dengan dialog terus menerus.
Soal pandangan politik, antara Ibu dengan Bapak juga bagai minyak dengan air, tidak akan bersatu. Sebagai seorang PNS saat Orde Baru berkuasa, Ibuku adalah kader Golkar. Suka atau tidak suka seluruh keluarga juga diwajibkan memilih Golkar. Tapi itu tidak berlaku buat Bapakku, beliau tidak sudi memilih Golkar.
Selama Orde Baru, beliau memilih golput. Tentang beda pilihan politik ini, Ibuku juga tidak pernah mempermasalahkannya walaupun risikonya sangat besar saat itu.
Di kemudian hari baru aku mengerti kenapa Bapak tidak sudi memilih Golkar dan memilih golput, buku Di Bawah Asap Pabrik Gula yang ditulis Hiroyosi Kano dan Frans Husken yang diterbitkan oleh Universitas Gadja Mada, membukakan mataku akan sejarah kelam dari keluarga Bapak.
Buku yang membahas hasil penelitian tentang masyarakat pesisir Jawa sepanjang abad 20 ini, salah satu babnya membahas konflik politik setelah tragedi 65. Diceritakan dalam bab tersebut bagaimana keluarga Bapak dibantai oleh gerombolan tentara dengan tuduhan sebagai antek PKI.
Menghargai perbedaan memang tidak mudah, baik agama maupun pandangan politik. Perbedaan agama misalnya seringkali menjadi sumbu pertikaian yang setiap saat bisa terbakar. Pun demikian soal tragedi 65, rekonsiliasi belum menjadi pilihan terbaik untuk mengakhiri konflik yang melelahkan anak bangsa ini. Untuk kedua masalah tersebut kedua orang tuaku lebih memilih jalan dialog untuk merangkul perbedaan.
Apakah dengan latar belakang keluargaku yang penuh perbedaan sudah cukup untuk mengenalkan aku tentang toleransi? Tentu saja tidak cukup. Pengalaman tinggal di Maumere Flores selama hampir lima tahun yang kemudian ‘mengkhatamkan’ aku tentang toleransi, ini pengalaman paling pribadi dan akan aku ceritakan dalam tulisan ini.
Tahun 2010 aku mendapatkan tugas untuk bekerja di Pulau Flores, tepatnya di Kabupaten Sikka. Aku tinggal di sebuah desa di pesisir utara 30 kilometer dari kota Maumere, Desa Reroroja namanya. Di Desa ini mayoritas penduduknya beragama Katolik, hanya sedikit saja yang muslim, biasanya pendatang dan orang dari suku Bajo.
Di desa ini orang Katolik dan Muslim hidup damai dalam perbedaan, tidak ada sejarah konflik antara keduanya. Dari tempat inilah aku mulai belajar tentang toleransi yang sesungguhnya.
Awalnya kekhawatiran tidak bisa diterima karena aku seorang muslim sempat terlintas dalam pikiranku, tapi semuanya sirna saat aku bertemu dengan mereka, keramahan dan kehangatan mereka begitu tulus menyambutku. Begitu pun ketika mereka tahu kalau aku seorang muslim mereka sangat menghormatiku. Misalnya saat aku berkunjung ke rumah-rumah mereka, tanpa diminta mereka selalu menyediakan tempat untuk salat.
Untuk tempat salat ini kadang aku sampai tidak enak sendiri, mereka memberikan alas kain tenun terbaik mereka untuk dijadikan sajadah padahal lantai rumahnya masih tanah.
Untuk makan pun mereka sangat hati-hati, mereka tahu kalau seorang muslim tidak makan daging babi dan anjing. Saat aku diundang ke acara pesta nikah atau acara sambut baru, menu khusus telah mereka siapkan berupa ayam dan ikan.
Biasanya sebelum ayam dimasak mereka mengundangku terlebih dahulu untuk menyembelih sendiri ayamnya. Tidak hanya dalam pesta, di hari-hari biasa pun saat mereka mengundangku makan bersama, mereka tidak akan menyediakan makanan yang dilarang oleh agamaku.
Saat acara makan bersama, yang paling aku sukai adalah saat mereka membaca doa, doanya, “Tuhan yang maha baik, terima kasih atas makanan yang telah Engkau sediakan ini, berkatilah makanan ini supaya menjadi sumber kesehatan bagi kami, berkatilah mereka yang telah menyiapkan makanan ini untuk kami, dan berkatilah pula orang-orang di luar sana yang masih kelaparan atau yang belum dapat menikmati makanan seperti ini, Terima kasih Tuhan, amin.
Jujur ketika pertama kali mendengar doa tersebut aku sampai menitikkan air mata, bukan karena kehangatan mereka dalam menjamuku, tapi karena ditengah kemiskinan yang mereka alami mereka masih mendoakan orang-orang yang kelaparan, yang belum bisa menikmati makanan seperti yang kami makan saat itu.
Acara makan bersama menjadi tempat kami untuk saling berbagi, tidak hanya makanan dan kebahagiaan tetapi juga berbagi doa, tanpa ragu mereka mempersilahkan aku untuk memimpin doa secara bergantian, tentu saja doa sesuai dengan keyakinanku.
Satu lagi peristiwa yang membuat aku menyakini bahwa toleransi tidak mengenal sekat-sekat keyakinan, saat salah satu tetanggaku meninggal dunia, namanya Mama Tini. Beliau seorang muslim yang dihormati di kalangan orang Bajo. Saat penguburan dilakukan beliau didoakan dalam doa dua agama, Islam dan Katolik. Tidak ada penolakan dari keluarga saat perwakilan tokoh agama Katolik memimpin doa dan memberikan khotbah penutup kepada almarhum.
Pengalaman tentang toleransi kemudian banyak aku dapatkan tidak hanya di Maumere, tetapi juga di daerah-daerah lain di Pulau Flores. Di Larantuka aku banyak belajar pada acara perayaan Semana Santa, di mana orang muslim membaur dengan orang Katolik untuk merayakan bersama pekan suci menyambut Paskah. Di Lembata, temanku yang Katolik rela bangun tengah malam hanya untuk menyiapkan makan sahur saat di bulan puasa.
Di Ende banyak aku temui dalam satu keluarga ada yang beragama Islam dan Katholik. Mereka begitu tulus menghormati perbedaan dan melakukannya dengan penuh kegembiraan. Bagiku Pulau Flores adalah kamus toleransi terlengkap yang ada di Indonesia bahkan di dunia.
Penghormatan umat Katolik di Pulau Flores terhadap perbedaan, mengingatkan aku pada cendekiawan Muhammad Abduh yang pernah mengatakan, “Ra’aitu al Islama duna al muslimin, wa ra’aitu al muslimin duna al-islam,” ya nilai-nilai Islami terlihat di tengah masyarakat nonmuslim, sementara umat Islam hidup tanpa nilai-nilai Islam.
Kondisi ini sangat relevan dengan apa yang terjadi saat ini, di mana daerah-daerah mayoritas muslim tidak ramah lagi dengan perbedaan, gerombolan intoleran tumbuh subur dan penguasa daerah berlomba-lomba menerbitkan peraturan untuk membungkam toleransi.
Toleransi tidak lahir dari khotbah di mimbar-mimbar tempat ibadah, forum diskusi, dan kebijakan penguasa, ia lahir dari sebuah tindakan, dan tindakan membutuhkan sebuah kejujuran. Umat Katolik di Flores telah membuktikan bahwa toleransi adalah sebuah tindakan bukan lagi perdebatan, apalagi hanya sekedar slogan semata.
Aku berharap di usia yang ke 71 tahun ini, Indonesia benar-benar merdeka. Tidak ada lagi penganut Syiah di Sampang menjadi pengungsi, tidak ada lagi perusakan Masjid Ahmadiyah, tidak ada lagi teror bagi penghayat kepercayaan, kemudahan mendirikan tempat ibadah apapun agamanya, dan juga tidak ada lagi pembubaran forum-forum diskusi.
Sebagai orang tua saat ini, tentu saja aku ingin mewariskan cerita dari Ibuku kepada anak-anakku bahwa semua agama mengajarkan kebaikan dan kedamaian.
sumber: disini
[Continue reading...]
Hamad bin Isa al Khalifa, yang merupakan raja negara Bahrain
menyumbangkan sebidang tanah untuk pembangunan gereja Koptik ke-2 di
ibukota Manama, Bahrain.
Hal ini disampaikan oleh imam Koptik Ortodoks,
Pastor Royce George, yang menghadiri pelayanan pastoral di Bahrain.
Gedung gereja Koptik ini akan menjadi tempat ibadah bagi sekitar 1.500 keluarga Koptik yang tinggal di Bahrain dan Arab Saudi.
Sumbangan itu, katanya, merupakan realisasi dari ucapan Raja Hamad
saat bertemu dengan Imam Royce di Mesir pada April 2016 silam. Sumbangan
itu juga diakui sebagai dukungan untuk menciptakan ‘toleransi beragama’
yang semakin baik di Bahrain.
Tindakan menyumbangkan tanah ini bukan kali pertamanya dilakukan Raja
Bahrain berkeyakinan Islam Sunni ini.
Tahun 2013 lalu, dia juga telah
menyumbangkan tanah seluas 9000 meter persegi untuk pembangunan Gereja
Katolik di Kotamadya Awali.
Gereja Katolik yang dibangun tahun 2014 ini kemudian menjadi Katedral
Katolik untuk kerajaan yang didedikasikan kepada istri raja Arabia.
Kendati begitu, tindakan kemurahan yang dilakukan Raja Hamad ini
tetap dikritisi berbagai organisasi internasional.
Mereka menuduh raja
telah bertindak diskriminatif terhadap kaum mayoritas Syiah Bahrain.
Namun hingga berita ini diturunkan, tuduhan tersebut belum diketahui
kebenarannya. Raja bahkan tidak memberikan klarifikasi terkait hal itu.
sumber: disini
[Continue reading...]
Pada Kamis, 6 Oktober 2016, media sosial diramaikan dengan
pemberitaan tentang pengusiran seorang gadis, Martina Kolas yang ingin
menerima Sakramen Komuni Pertama (Sambut Baru), oleh seorang pastor, di
stasi Lirikelang-Sikka-NTT, pada Minggu 2 Oktober 2016.
Menurut laporan
serggapntt.com yang juga dipublikasikan oleh matakatolik.com, alasan
pengusiran tersebut disebabkan oleh ibunda Martina, yakni mama Ertina
Lodan masih memiliki tunggakan di Gereja Paroki Nita, Keuskupan Maumere,
sebesar Rp634 ribu.
Pagi ini, Jumat 7/10/2016, Media MK.com, terus mencoba meminta
klarifikasi langsung soal kejadian ini dengan Rm. Stef Labuan, via
telepon dan SMS, namun pastor yang bersangkutan belum mengangkat
telepon dan membalas SMS dari Matakatolik.com untuk mengklarifikasi
kejadian tersebut.
Namun, Media MK. Com, menghimpun informasi dari rekan imam Rm.
Stef Labuan, yang saat ini bertugas di Semeinari Tinggi St. Petrus
Ritapiret- Keuskupan Maumere yakni Rm, Ansel Liwu, Pr. terkait
klarifikasi kejadian ini.
Rm. Ansel, dapat mengklarifikasi hal ini, karena sudah melakukan
pembicaraan empat mata dengan Rm. Stef Labuan, kemarin Kamis, 6/10/2016.
Rm. Ansel, kepada media MK.com, Jumat, 7/10/2016, menjelaskan
bahwa pemberitaan yang dipublikasi oleh beberapa media online itu tidak
seratus persen benar.
”Rm Stef tidak mengusir anak tersebut, apalagi
dengan alasan tunggakan keuangan Gereja.
Peristiwa ini bukan pengusiran
melainkan PEMBATALAN atau DITUNDA penerimaan komuni pertama/sambut baru
untuk gadis kecil tersebut,” jelas Rm. Asel.
Pembatalan jelanya, karena
ada kesepakan umat (Gereja setempat) bahwa setipa calon penerima komuni
pertama harus mengikuti katekese persiapan komuni pertama secara penuh.
Namun, gadis tersebut tidak mengikuti katekese persiapan tersebut secara
total/penuh. Hal inilah yang melatarbelakangi terjadinya pembatalan
tersebut.
sumber : disini
[Continue reading...]